Pages

Friday, June 1, 2012

IMAN KEPADA NABI & RASUL ALLAH

Seorang Muslim beriman dan percaya bahwa Allah SWT  telah memilih di antara ummat manusia sejumlah nabi dan rasul sebagai utusan-Nya kepada ummat manusia untuk menyampaikan syari’at agama Allah, untuk menyelamatkan manusia dari perselisihan dan untuk mengajak manusia kepada kebenaran.
                Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk membawa kabar gembira kepada ummat manusia tentang kenikmatan abadi yang disediakan bagi mereka yang beriman, dan memperingatkan mereka tentang akibat kekufuran (syirik). Merekapun memberi teladan untuk bertingkah laku yang baik dan mulia bagi manusia, antara lain dalam bentuk ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan istiqomah (berpegang teguh) terhadap ajaran Allah SWT.
               
Pengertian Nabi dan Rasul
 
                Walaupun tugas nabi dan rasul adalah sama dari segi tugas penyampaian wahyu, tetapi kedua istilah ini mempunyai pengertian yang berbeda. Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa nabi atau rasul adalah orang yang menerima wahyu dari Allah untuk dilaksanakan terutama untuk dirinya sendiri; lalu jika ia diperintahkan Allah untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia, maka ia disebut rasul . Tetapi jika tidak demikian, maka ia disebut nabi.
                Pendapat ini terasa ganjil terdengar. Sebab, mungkinkah seorang nabi tidak diberikan tugas untuk menyampaikan wahyu kepada ummat  manusia? Apakah nabi hanya diutus Allah untuk melaksanakan agama Allah untuk dirinya sendiri?. Benar, bahwa nabi dan rasul, keduanya menerima wahyu dari Allah. Tetapi ada perbedaan makna yang sangat berarti dan prinsipil diantara keduanya.
                Arti nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya syari’at rasul sebelumnya dan diperintahkan untuk menyampaikan syari’at itu kepada suatu kaum tertentu. Contoh untuk itu adalah nabi-nabi Bani Israil yang diutus seperti nabi-nabi Musa dan Isa. Sedangkan rasul adalah orang yang diwahyukan kepadanya suatu syari’at baru untuk disampaikan kepada kaumnya sendiri atau suatu kaum. Secara singkat dapatlah disebut bahwa rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syaria’tnya sendiri, sedangkan nabi diperintahkan untuk menyampaikan syari’at rasul yang lain (rasul sebelumnya).1)
Allah SWT berfirman
 
 
“(Dan) Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi...”(QS Al Hajj 52)
 
                Imam Baidlawi menafsirkan ayat itu sebagai berikut :
                “Rasul adalah orang yang  diutus Allah dengan syari’at yang baru untuk menyeru manusia kepada-Nya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus Allah untuk menetapkan (menjalankan) syari’at rasul-rasul sebelumnya”.
                Dengan batasan yang jelas ini, maka dapatlah dikatakan bahwa Nabi Musa adalah nabi sekaligus rasul. Tetapi Nabi Harus adalah nabi, bukan rasul. Sebab ia tidak dberikan syar’at yang baru. Sayyidina Muhammad SAW adalah nabi dan rasul. Namun yang paling istimewa pada diri beliau adalah kenabian dan kerasulannya diutus untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk satu kaum tertentu.
                Seorang muslim wajib menyakini semua nabi dan rasul sebagaimana firman Allah SWT:
 
 
                “Katakanlah (kepada orang-orang mukmin) : ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diturunkan kepada Msua dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya, Kami tidak membeda-bedakan seroang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.  (QS. Al-Baqarah 136).
 
Jumlah Nabi dan Rasul serta Keluasan Ajaran Risalahnya
 
                Secara umum, seorang Muslim diwajibkan iman kepada para nabi dan rasul. Artinya kita wajib percaya bahwa Allah telah mengutus sejumlah nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Jadi, kita tidak perlu mengetahui berapa jumlah mereka seluruhnya, siapa nama-nama mereka dan dimana mereka bertugas.
                Memang dalam suatu hadist riwayat Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab  musnadnya, dikatakan bahwa jumlah nabi ada lebih kurang 124.000 orang dan jumlah rasul ada 315 orang. Tetapi riawayat tersebut bukan hadits muttawatir, karena itu tidaklah kuat untuk dijadikan pegangan dalam bidang aqidah. Sebab aqidah tidak boleh berlandaskan dalil-dalil yang dzonni (yang belum pasti kebenarannya, seperti hadits ahad). tetapi ia harus berdasarkan dalil-dalil yang qoth’i 3).
                Allah SWT berfirman :
 
 
                “(Dan) sesungguhnya telah Kami utus beberapa rasul sebelum kamu. Diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula ) yang tidak kami ceritakan kepadamu” (QS. Al Mukmin 78)
 
                Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa Allah hanya memperkenalkan sebagian dari para nabi dan rasul-Nya. Al-Qur’an hanya menerangkan (menceritakan) sebanyak 25 nabi dan rasul saja. Mereka itulah yang wajib kita ketahui satu-persatu, wajib pula kita percayai kenabian dana kerasulannya.
                Semua nabi dan rasul sebelum Nabi Muahammad SAW diutus Allah untuk suatu bangsa tertentu (baik satu atau beberapa generasi dari suatu bangsa) dan untuk suatu periode tertentu. Daerah atau wilayah dakwah dari seorang nabi serta masa berlaku syariatnya pun terbatas sampai datangnya rasul penggantinya. Semua nabi dan rasul, risalah dakwah mereka terbatas dan bersifat lokal, kecuali risalah dakwah Nabi Muhammad SAW yang bersifat unitversal. Tentang keuniversalan risalah Nabi Muhammad SAW, Allah SWT telah menegaskan sendiri dalam Al Qur’an pada beberapa ayat dan surat, antara lain :
 
 
                “(Dan) Kami tidak mengutus melainkan bagi ummat manusia seluruhnya, sebagian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak (mau ) mengetahui.” (QS. Saba’ 28)
 
                Dan Rasulullah menegaskan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ra:
 
 
                “Nabi-nabi terdahulu diutus diperuntukkan bagi kaumnya sendiri (khusus). Sedangkan aku telah diutus untuk seluruh umat manusia”.
 
                Awal dari para nabi adalah Adam AS dan akhir para nabi adalah Muhammad SAW. Kenabian Adam AS diperjelas oleh  Allah dalam firman-Nya:
 
             
                “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-Nya.. Maka, Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang. Kami berfirman : “Turunlah kamu dari jannah itu, Kemudian jika datang petunjuk-Ku, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, pastilah tidak ada kekahwatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedit hati”. (QS. Al-Baqarah 37-38).
               
                Serta sabda Rasulullah SAW :
 
 
                “Aku adalah penghulu anak Adam, nanti di hari qiamat (tetapi) tidak ada kebanggaan pada diriku. Dan ditanganku ada panji-panji pujian (tetapi) tidak ada kebanggaan di sini. Tidak  seorang nabipun, baik ia Nabi Adam as atau nabi yang lain maka mereka berada dibawah panji-panjiku” (HR. Turmudzi).
 
                Adapun kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi , yaitu Al Qur’an.  Ia adalah Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al qur’an. Hal ini menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul . Allah SWT berfirman:
 
 
(Dan) jika kalian (tetap) meragukan Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar”.
(QS. Al Baqarah 23)
 
Nabi Muhmmad SAW adalah Penutup Nabi dan Rasul
 
                Disamping kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalahkhatamun-nabiyyin (penutup para nabi). Di kalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup (akhir) adalah Muhamamd SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan:
 
(1) Firman Allah SWT:
 
 
 
                “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki dia antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha tahu segala sesuatu” (QS. Al Ahzab 40)
 
                Dalam ayat ini jelas bahwa Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul. Karena itu tidak akan ada nabi sesudahnya apalagi rasul. Sebab tingkatan rasul lebih tinggi dari tingkatan nabi.
 
(2) Hadits Muttawatir:
 
(a) Hadits muttawatir yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik, ia berkata:
 
               
                “Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul susudahnya”.
(b) Hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam BukhariAhmad Ibnu Hibban dari  Abi Hurairah:
 
 
                “Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seseorang yang membuat sebuah rusmah; diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan ) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya: “mengapa engkau belum memasang batu bata itu ?’ Nabipun berkata  ‘Sayalah batu batu (terakhir) -sebagai penyempurna- itu, dan sayalah penutup para nabi
 
                Dalam dua hadits diatas dijelaskan bahwa kenabian dan kerasulan itu telah terputus sama sekali. Dengan demikian anggapan faham Ahmadiyah Qadiyani yang mengatakan bahwa sesudah Rasullah SAW masih ada nabi  adalah jelas keliru (sesat) dan tidak berdasarkan pengertian bahasa Arab dan syara’. Pemahaman Qadiyani tentang kalimat “Khatamun-nabiyyin” adalah cap (stempel) untuk nabi-nabi sebelumnya, jelas sangat keliru. Sebab, pengertian kalimat ini menurut bahasa Arab adalah “Nabi penghabisan (terakhir)”.
                Jamaluddin Muhammad Al Anshari 5), seorang ahli bahasa Arab yang paling terkenal dengan kamus “Lisanul Arab” ia mengatakan bahwa kata “khatam” mempunyai arti yang sama dengan kata “khatim” dan “khatam”. Ia menulis sebagai berikut:
 
Khitam dari suatu kaum serta khatim dan khatamnya adalah penghabisan dari mereka. Dan Muhammad SAW adalah khatim (penghabisan/akhir) dari segala nabi. Khatim dan khatam adalah diantara nama (yang diberikan kepada) Nabi Muhammad SAW di dalam Al Qur’an. Disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa Muhammad SAW adalah khatimannabiyyin, yakni penghabisan nabi (penutup) segala nabi”.
 
Selanjutnya Jamaluddin Muhammad Al Anshari mengatakan:
 
                “Merujuk kepada Al Qur’an dan hadits muttawatir di atas, kalau ada orang yang mengatakan masih akan ada nabi setelah Muhammad SAW, maka mereka telah sesat dan kafir. Oleh karena itu, orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi maka orang itu telah sesat (mengimpang) dari aqidah Islam yang jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dengan nash yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah”.
               
                Mengenai orang-orang yang mengklaim dirinya nabi sesudah Muhammad, jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah memberitakannya dalam sebuah hadits dan diriwayatkan oleh BukhariMulsim Ahmad dan Abi Hurairah 6)
 
 
                “Tidak akan terjadi kiamat kecuali akan keluar (muncul) tukang-tukang bohong (para penipu) kira-kira 30 orang. Semua mengaku dirinya sebagai rasul Allah.
 
                Termasuk para penipu yang disinyalir Rasulullah SAW itu, adalah Mirza Ghulam Ahmad. Orang ini mengklaim dirinya sebagai nabi sesudah Muhammad SAW. Ia mengadakan syari’at baru dan menyatakan bahwa ia menerima wahyu serta mengarang kitab yang disebutnya sebagai wahyu Allah.
 
Makna Iman kepada Kerasulan Muahammad SAW
 
                Kalimat “laa ilaaha illahallah” menetapkan hanya Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi dengan diabdi, dipatuhi dan ditaati, dijadikan sebagia satu-satunya pembuat syariat. Serta meniadakan segala bentuk ibadah dan pengabdian kepada selain Allah atau kepada makhluk-makhluk Allah. Sementara kalimat “Muhammadur rasulullah” menetapkan bahwa dari sekitan banyak makhluk ciptaan Allah di dunia, hanyalah Muhammad SAW satu-satunya hamba Allah yang berhak untuk diikuti dan diteladani. Tidak mengikuti selain beliau. Tidak boleh mengabil sesuatu kecuali dari beliau. Beliau hanyalah mengampaikan hukum Allah, jadi tidak boleh mengambil hukum dari Voltarie, Montesqure ataupun Karl Marx (dalam hukum kemasyarakatan dan tata negara). Juga tidak boleh mengambil hukum dari agama manapun, baik dari agama yang sudah menyimpang dan diubah seperti Yahudi dan Nashrani, ataupun agama yang sumbernya dari manusia seperti Hindu, Budha, Qodiyaniyah, Baha’iyyah, dan lain sebagainya (dalam hukum ibadah dan keakhiratan).
                Begitu pula tidak diperbolehkan untuk mengambil hukum yang bersumber dari ideologi apapun di dunia ini, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain. Jadi semua hukum yang berlaku bagi kita hanya bertumpu kepada syariat Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Selain dari itu tidak diperkenankan untuk kita gunakan sebagai rujukan. Kita dituntut untuk hanya merujuk kepada Islam semata, dan hanya mengikuti Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
 
 
                “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hayr 7).
 
 
                “(Dan) orang-orang mu’min serta mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan tidaklah patut bagi mereka untuk memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. (QS. Al-Azhab 36).
 
 
                “Maka demi Tuhanmu, mereka sesungguhnya tidak beriman sebelum mereka menjadikanmu hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya”  (QS. An-Nissa’ 65).
 
 
                “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya itu takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih” (QS. An-Nuur 63)
 
 
                “Siapa saja yang taat kepada Rasul maka sesungguhnya ia telah taat kepada-Ku” (QS. An-Nissa’ 80).
 
 
                “Katakanlah: Jika kamu cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu” (QS. Ali Imran 31).
 
                Ayat-ayat ini jelas memerintahkan kepada kaum muslimin agar mengambil aturan yang datang dari Rasulullah SAW, dan meneladaninya, mematuhinya, serta mengembalikan semua aturan kepadanya. Mengikuti apa yang ia sampaikan baik perkataan maupun perbuatan dan memberi peringatan kepada orang-orang yang menyalahi perintah-Nya. Semuanya ini merupakan aqidah. Sebab ayat pertama memerintahkan untuk mengambil semua apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dari Tuhannya berupa perintah dan larangan-Nya, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasul SAW.
                Sedangkan ayat yang kedua menerangkan tentang tidak diperbolehkannya dan tidak patutnya serta tidak diperkenankannya bagi segenap mukmin untuk mempunyai aturan selain dari Allah dan Rasul-Nya.
                Dalam ayat ketiga Allah SWT bersumpah bahwa seseorang hanya bisa menjadi mukmin yang sebenar-benarnya, kecuali setelah ia mengangkat Rasulullah sebagai hakim (pemutus permasalahan) bila terjadi perselisihan antar mereka. Lalu mereka belum beriman sampai mereka menerima keputusan hukum dari Rasulullah SAW tanpa ada rasa keberatan serta kesempitan dalam diri mereka terhadap hukum tersebut. Disamping itu mereka benar-benar pasrah serta berserah diri lahir-batin terhadap apa yang datang dari Rasulullah.
                Kemudian ayat keempat memperingatkan mereka yang melanggar perintah Rasul, bahwasanya mereka akan ditimpa fitnah dan cobaan serta adzab yang pedih. Ini jelas menunjukkan haramnya menyalalahi peraturan yang dibawa oleh Rasulullah dan haramnya mengikuti peraturan lainnya, sambil memperingatkan bahwa yang melakukan hal tersebut akan ditimpa siksaan, cobaan, dan fitnah.
                Sedangkan ayat kelima menyatakan bahwa taat kepada Rasulullah sama dengan taat kepada Allah. Karena taat kepada Allah wajib, maka taat kepada Rasulullah wajib pula. Dan taat itu tidak akan tercapai kecuali dengan mengikuti segala peraturan dengan mengikuti segala peraturan dan hukum-hukum yang datang dari beliau, serta dengan mengikuti sunnahnya berupa perkataan dan perbuatan.
                Kemudian ayat terakhir mengaitkan cinta pada Allah dengan ketaatan mengikuti Rasulullah dalam segala peraturan yang dilakukanan beliau. Sebab bila tidak demikian, tidak ada artinya bagi orang yang berpura-pura mencintai Allah tapi tak mau mengikuti apa yang dibawa Rasulullah dari Tuhannya.
                Oleh karena itu Rasulullah mewajibkan segenap muslimin untuk menerapkan secara sempurna, segala apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan antara hukum yang satu dengan yang lainnya. Sebab semua hukum Allah itu sama rata ditinjau dari kewajibannya untuk diterapkan. Oleh karena itulah Abu Bakar ra. dan para shahabat memerangi para pembangkang zakat, sebab mereka ini membangkang terhadap diterapkannya satu hukum saja, yaitu kewajiban zakat. Allah SWT sendiri telah mengancam orang-orang yang membeda-bedakan antara satu hukum dengan yang lainnya, yang beriman pada bagian tertentu dari Al-Qur’an sedang bagian lainnya diingkar, dengan ancaman kehinaan di dunia dan adzab pedih diakhirat. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
 
 
                “Apakah kalian beriman kepada sebagaian Al-Kitab (taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikan diantaramu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan di hari kiamat mereka akan dicampakkan kedalam siksa yang amat berat. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kalian perbuat” (QS. Al-Baqarah 85).

0 comments:

Post a Comment